image by Pinterest | edited by me |
Scarlet selalu terburu-buru dalam melakukan sesuatu tanpa memikirkannya matang-matang, dan hal itu selalu menyebabkannya terkena masalah. Ini hanyalah salah satu contoh bagaimana emosi membawanya terhanyut, tergila-gila pada seorang pemuda yang baru ia kenal... gadis itu berusaha menghitung mundur dan tersadar dengan kaget karena mereka saling mengenal kurang dari satu hari.
Nenek Scarlet Benoit menghilang—meninggalkan chip identitas yang seharusnya terpasang di lengannya tergeletak begitu saja di kamarnya. Dua minggu telah berlalu, dan usaha pencarian Scarlet pun berakhir sia-sia karena ia tak mendapat petunjuk apapun. Kepolisian pun menganggap kepergian Michellle Benoit sebagai usaha pelarian yang tak ingin ditemukan atau sebuah usaha bunuh diri.
Scarlet marah dengan keputusan pihak kepolisian. Apalagi setelah kehadiran Ayah Scarlet yang selama ini menghilang, tiba-tiba muncul dan mengacak-acak barang milik Nenek Scarlet. Scarlet pun makin membulatkan tekad untuk mencari neneknya, terlebih setelah tahu keadaan yang sebenarnya dari ayahnya.
Ze'ev "Wolf" Kesley, seorang petarung jalanan yang baru dikenal Scarlet menawarkan diri untuk membantunya menemukan Michelle. Tanpa pikir panjang, Scarlet pun menerima tawaran tersebut karena Wolf terlihat menyimpan informasi tentangg keberadaan neneknya.
Di sisi lain, atas bantuan dokter Erland, Cinder berusaha kabur dari penjara Persemakmuran Timur. Dalam usahanya tersebut ia bertemu dengan Kapten Thorne Carswell, dan ia menawarkan pesawat ruang angkasa miliknya jika Cinder berhasil membawanya kabur. Cinder pun setuju karena ia juga membutuhkan akomodasi untuk memenuhi janjinya bertemu lagi dengan dokter Erland.
"Orang-orang begitu cepat menuduh dan mengkritik, tapi mereka tidak tahu apa yang telah ia alami atap apa yang membuatnya melakukan hal-hal yang dia lakukan. Apakah kita bahkan tahu betul bahwa dia memang melakukan sesuatu?"
Tapi pelarian Cinder bukan tanpa konsekuensi. Levana sangat marah atas kaburnya Cinder dari penjara. Ancaman yang selalu diberikan Levana kini bukan lagi sebuah ancaman. Levana kini memulai aksi perangnya, dan bukan hanya Persemakmuran Timur yang ia serang, seluruh bumi kini menjadi sasaran pasukan khususnya yang mau tak mau membuat Kai pun merasa bertanggungjawab atas serangan tersebut.
Bisakah Cinder menyelamatkan Kai lagi? Rahasia apa yang sebenarnya disimpan Michelle Benoit? Serta hubungan apa yang dimiliki Scarlet dan Cinder?
"Aku hanya berpikir harusnya kita tidak menghakimi dia, atau siapa pun, tanpa mencoba memahami mereka terlebih dahulu. Bahwa harusnya kita mendapatkan kisah selengkapnya sebelum mengambil kesimpulan. Pemikirann yang gila, aku tahu."
Dibandingkan dengan buku pertamanya, aku lebih menikmati kisah di buku kedua seri The Lunar Chronicle ini. Yang pasti karena konfliknya semakin beragam dan membuat ceritanya pun semakin seru. Karakter Cinder pun semakin terlihat berkembang seiring berjalannya cerita.
Seperti diketahui, Scarlet ini merupakan sebuah novel yang mengadaptasi dongeng Red Ridding Hod atau Serigala dan Kerudung Merah. Meskipun ceritanya begitu jauh berbeda, penulis berhasil membuat cerita di dalamnya sangat menarik tapi tetap bisa mempertahankan unsur utama dongeng Serigala dan Kerudung Merah ini di dalam cerita.
Jujur saja, aku kurang begitu suka hubungan yang terjalin antara Scarlet dan Wolf. Segalanya berjalan terlalu cepat. Mereka pertama kali bertemu seminggu yang lalu, mulai saling mengenal dalam sehari dan Scarlet langsung menaruh hati pada Wolf. Yah, tapi sah saja sih mengingat bagaimana Scarlet. Jika aku jadi dirinya, aku pun juga akan jatuh pada pesona Wolf—sekalipun terkadang ia terlihat aneh dan mencurigakan.
Aku justru paling suka interaksi yang terjalin antara Cinder dan Thorne (lebih dari Cinder dan Kai di buku pertama). Walaupun seringkali narsis, Thorne adalah sosok yang cukup bisa diandalkan Cinder di saat ia mengalami syok akibat kekuatan bulan yang dimiliki Cinder yang menyebabkan orang lain celaka. Kehadiran Thorne juga cukup menghibur saat suasana di dalam novel terasa tegang.
Dari segi terjemahan, aku juga labih suka Scarlet dibanding Cinder dulu. Walaupun masih agak kaku di awalnya, terjemahannya sudah lebih terasa mengalir menjelang pertengahan buku. Adegan-adegan aksinya pun diterjemahkan dengan cukup baik dan jelas.
Secara keseluruhan, aku lebih menikmati cerita Scarlet dibandingkan dengan Cinder. Mungkin pengaruh banyaknya ulasan yang aku baca—yang mengatakan Cinder sebagai novel yang bagus—dan meninggikan ekspetasiku tapi ternyata membuatku kurang terkesan.
Posting Komentar